Mengenal Lebih Dekat Kota Semarang Melalui Sejarah
(Mengambil Hikmah Dari Kerusuhan di Kaligawe 4 Februari 1935 sebagai Peristiwa Sejarah)
Menguak Potensi Kota Semarang Sebagai Kota Wisata
Tanggal 2 Mei mendatang, Kota Semarang akan merayakan hari jadinya yang
ke 464. Sudah semestinya jika hari jadi Kota Semarang ini tidak hanya
milik pemerintah Kota Semarang, tetapi milik seluruh warga dan elemen
masyarakat Kota Semarang. Oleh karena itu semua pihak berharap agar
berbagai kemeriahan dan kegiataan yang akan diselenggarakan dapat
benar-benar dinikmati dan didukung oleh seluruh warga Kota Semarang.
Kota Semarang memiliki pelabuhan (Tanjung Mas) yang terkenal sejak jaman
Belanda, dengan demikian Semarang merupakan kota yang ideal sebagai
gerbang masuk menuju kota-kota lain di Jawa Tengah. Tak heran bila
kemudian Semarang lebih dikenal sebagai kota transit daripada kota
wisata, padahal Semarang menyimpan begitu banyak keunikan yang bisa
dinikmati.
Potensi wisata di Kota Semarang memang bukan terletak pada obyeknya,
tetapi pada nilai kearifan lokal seperti bangunan bersejarah dan
bangunan religi. Kota Semarang juga memiliki taman bermain, pemandangan
alam dan wisata kuliner yang sangat memikat. Untuk tempat bersejarah
yang layak dikunjungi antara lain: Lawang Sewu; Tugu Muda; Museum
Mandala Bakti; Museum Ronggowarsito; Museum Jamu Jago; Museum Nyonya
Meneer dan Muri. Untuk bangunan religi antara lain seperti Masjid Agung,
Gereja Blenduk dan Klenteng Sam Poo Kong. Semarang juga memiliki tempat
wisata bermain untuk anak-anak, seperti Wonderia dan Istana Majapahit.
Bagi yang gemar melihat keindahan alam, diantaranya dapat berkunjumg ke
Goa Kreo, Agro Wisata Sodong serta Kampung Wisata Taman Lele. Untuk
menunjang kebutuhan para wisatawan, Kota Semarang juga sudah
mempersiapkan hotel dari yang paling murah sampai hotel berbintang.
Transportasi yang mudah dan nyaman, biro perjalanan yang siap memandu
perjalanan para wisatawan dan kalau berkunjung ke Kota Semarang jangan
lupa dengan wisata kuliner dan makanan khasnya, bandeng presto dan
wingko babat.
Sekilas Tentang Sejarah
Kata sejarah berasal dari bahasa Arab yaitu
Syajarotun yang
berarti pohon kayu. Pohon dalam pengertian ini merupakan simbol
kehidupan, karena terdapat bagian-bagian seperti batang, ranting, daun,
akar, dan buah yang menunjukkan adanya aspek-aspek kehidupan yang satu
sama lain saling berhubungan untuk membentuk sesuatu itu menjadi hidup.
Istilah yang memiliki makna sama dengan kata
syajaratun adalah
silsilah,
riwayat atau
hikayat,
kisah, dan
tarikh.
Sejarah memiliki 3 unsur penting, yakni ruang; waktu dan manusia.
Pembagian sejarah dapat dikategorikan menjadi: sejarah sebagai
peristiwa; sejarah sebagai kisah dan sejarah sebagai ilmu.
Sejarah sebagai peristiwa memang terkadang selalu diidentikan dengan
orang besar dan
perang. Padahal sejarah tidak hanya milik
orang besar,
orang kecil atau rakyat jelatapun seharusnya berhak menjadi aktor
sejarah. Pada kesempatan kali ini akan dipaparkan sebuah peristiwa
sejarah, dimana bukan orang besar yang menjadi aktor sejarahnya,
melainkan para
tukang-
tukang gerobag.
Peristiwa sejarah ini terjadi dengan latar belakang tahun 1935 di Kota
Semarang. Sebuah peristiwa kerusuhan di Kaligawe tanggal 4 februari 1935
yang melibatkan tukang gerobag dan aparat keamanan Kota Semarang.
Kronologis Kejadian Kerusuhan di Kaligawe 4 Februari 1935
Menurut laporan
Residen Semarang
(K.J.A. Orie) pada
hari senin tanggal 4 Februari 1935 telah terjadi penyerangan
tukang-tukang gerobag dari desa Genuk terhadap pos polisi Kaligawe. Desa
Genuk adalah desa yang terletak di sebelah timur Kota Semarang dan
termasuk Kabupaten Demak (ketika itu). Pos polisi Kaligawe terletak di
perbatasan Kabupaten Semarang dan
Onderdistrik Genuk, Kabupaten Demak.
Kerusuhan itu adalah lanjutan peristiwa yang terjadi pada hari Jumat
tanggal 1 Februari 1935. Pada hari itu beberapa orang aparat keamanan
Semarang di perbatasan Kaligawe menghentikan gerobag-gerobag dari desa
Genuk yang akan masuk Semarang, karena pajak gerobag itu belum dipenuhi.
Gerobag-gerobag itu harus kembali pulang atau diproses
verbal kalau meneruskan perjalanan ke Kota Semarang. Mereka diberi kesempatan untuk membayar pajak sampai tanggal 7 Februari.
Dari beberapa orang peserta kerusuhan yang tertangkap diperoleh
keterangan bahwa tukang-tukang gerobag yang dilarang masuk Kota Semarang
pada hari Jumat tanggal 1 Februari itu, pada hari Sabtu malam tanggal 2
Februari mengadakan pertemuan di rumah Sukaeni (seorang mandor gerobag)
yang terletak di dukuh Tanggulangin, Kelurahan Banjardewa. Pertemuan
dihadiri oleh sekitar 60 orang. Di antaranya adalah seseorang bernama R.
Ahmad yang berasal dari Cikampek dan datang di dukuh Tanggulangin serta
bertempat tinggal di rumah Sukaeni.
Pada pertemuan hari Sabtu malam tanggal 2 Februari, Sukaeni
memperkenalkan R. Ahmad sebagai seorang keramat. Selain itu R. Ahmad
juga dapat memberi
syarat kepada tukang-tukang gerobag itu untuk masuk Kota Semarang tanpa membayar pajak gerobag.
Syarat itu berupa sepucuk
surat jimat yang harus dibawa oleh setiap tukang gerobag yang akan masuk Kota Semarang.
Surat jimat itu dapat diperoleh dengan memberi imbalan 3 sen. Kalau ada pencegatan seperti yang terjadi pada tanggal 1 Februari itu,
surat jimat
itu harus diperlihatkan. Kalau petugas pajak atau aparat keamanan tidak
dapat membaca surat itu dan tetap melarang meneruskan perjalanan, maka
harus dilawan dengan kekerasan.
Dengan membawa
surat jimat dari R. Ahmad yang dianggap
keramat itu, pada hari Senin tanggal 4 Februari tukang-tukang gerobag
itu mencoba masuk Kota Semarang. Ketika mereka dihentikan di perbatasan
Kaligawe oleh aparat keamanan, mereka mengadakan perlawanan. Mereka
tidak diizinkan meneruskan perjalanan, sekalipun sudah memperlihatkan
surat jimat.
Perlawanan itu berakhir dengan membawa 4 orang korban. Beberapa orang
penyerang tertangkap hidup, sisanya melarikan diri ke daerah tambak di
wilayah Kabupaten Demak.
Latar Belakang Terjadinya Perlawanan Tukang Gerobak terhadap Aparat Kemanan Kota Semarang
Menurut laporan
Residen Semarang
(K.J.A. Orie),
peristiwa Kaligawe pada tanggal 4 Februari itu bukanlah suatu
pemberontakan yang terorganisasi atau terencana. Peristiwa itu adalah
suatu kerusuhan yang meletus karena ketidaktahuan dan karena hati yang
mendongkol.
Tukang-tukang gerobag itu sebenarnya memang sudah membayar pajak
gerobag di Kabupaten Demak, karena domilisi mereka di kabupaten itu.
Mereka tidak tahu kalau harus juga membayar pajak di Kota Semarang,
karena daerah operasi mereka di Kota itu.
Pajak gerobag rangkap itu sebenarnya juga berlaku bagi semua gerobag di
sekitar Kota Semarang yang daerah operasinya di kota itu, semisal
gerobag dari daerah Kendal, Mranggen dan Ungaran. Namun reaksi hanya
timbul dari tukang-tukang gerobag Genuk. Reaksi ini ada hubungannya
dengan keadaan penghidupan penduduk daerah Genuk ketika itu. Mereka itu
petani-petani miskin. Menurut keterangan
Asisten Wedana Genuk,
luas tanah petani di daerahnya rata-rata hanya sekitar 50 sampai 60 Ru,
sehingga hasilnya tidak cukup untuk hidup sehari-hari. Untuk menutupi
kekurangan, mereka menjadi buruh pengangkut di Kota Semarang dengan
bermodalkan gerobag. Jadi mereka menjadi tukang gerobag bukan hanya
untuk mencari tambahan penghasilan, tetapi sungguh-sungguh untuk
mencukupi kebutuhan hidup. Berhubung dengan dilarang untuk masuk ke Kota
Semarang, berarti mereka kehilangan salah satu sumber pokok mata
pencaharian. Selain itu kemiskinan menyebabkan mereka sukar untuk
membayar pajak di Kota Semarang sebesar f 2,50, apalagi pajak itu harus
dibayar sekaligus.
Belajar dari Sejarah, Membuat Manusia Menjadi Lebih Bijak
Ada sebuah pendapat mengatakan
belajar dari sejarah, membuat manusia menjadi lebih bijak.
Hal itu benar adanya, karena manusia dapat mengambil hikmah dari
peristiwa sejarah di masa lalu sehingga dapat menjadi pedoman dalam
mengambil keputusan dan menjalani kehidupannya di masa kini. Hikmah yang
dapat diambil dari peristiwa sejarah ini adalah bahwa faktor-faktor
sosial dapat membuka jalan kepada siapapun untuk melakukan sebuah
gerakan perlawanan demi mencapai suatu tujuan atau perubahan. Apalagi
jika gerakan tersebut diselipi unsur mistis di dalamnya, yang membuat
para pelaku semakin percaya diri. Faktor di ataslah yang salah satunya
berperan dalam memicu terjadinya perlawanan tukang-tukang gerobag
terhadap aparat keamanan Kota Semarang yang dianggap menjadi penghalang
penghidupan petani-petani miskin.
Peristiwa sejarah ini setidaknya dapat menjadi sumber referensi bagi
Pemda Kota Semarang, pemerintah daerah lain, bahkan pemerintah pusat di
Republik ini untuk selalu mengoptimalkan usaha dalam mensejahterakan
rakyat. Di antaranya jangan terlalu membebani masyarakat dengan pungutan
pajak yang tinggi. Apalagi jika uang pajak yang telah dibayar
masyarakat dengan mengorbankan tetesan keringat, hanya digunakan untuk
hal-hal yang tidak pro rakyat atau yang lebih parah lagi untuk mengisi
perut pejabat sendiri
(korupsi berjamaah). Jika hal itu masih dilakukan oleh para pemimpin di
Republik ini, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan terjadi
peristiwa serupa seperti di Kaligawe 1935, yakni
perlawanan rakyat terhadap pemerintah di bumi pertiwi ini.
Selamat Ulang Tahun Kota Semarang.